Minggu, 17 Mei 2015

Tentang Aku Cinta Dan Segalanya

Aku mendengar hening ketika angin mengantarkan pagi membawa bilah-bilah cahaya di hamparan kabut. Hembus udara mendesirkan bait-bait sunyi sebuah pagi yang kemudian melesap ke dalam rindu matamu.
Pagi menjadi demikian getas ketika perlahan kita saling meletakkan catatan mimpi yang tak usai kita jelajahi.

Remang senja di antara rumput ilalang, betapa lama luka berdiam di bilik-bilik kesunyian. Senja ini, sepi turun dari puncak bukit kenangan membawa sekeping ingatan tentang masa lalu yang lama berdiam di pucuk pohon-pohon kerinduan.
Sepasang burung berkicau riuh dibalik rimbun daun pepohonan. Betapa pagi adalah sebuah kitab kerinduan yang tak pernah usai kita terjemahkan.

Aku mencari sisa hujan semalam. mungkin di sela bulirnya masih bisa kutemukan sekeping kenangan yang dulu kutitipkan. Bulan menggantung di sela rimbun daun-daun bambu kekuningan, begitu juga angan mengembara di luas semesta yang begitu terhempas.

Jika senja serupa dermaga, betapa aku ingin berlabuh menyandarkan letih dari perjalanan yang sekian lama kutempuh. Lalu senja menyajakkan kesepian, tentang rindu yang hitam serupa burung-burung malam yang mematuk sinar sang rembulan. Lalu kita kayuh perahu kayu yang telah rapuh menelusuri tepi senja pada sebuah telaga, melantunkan doa.

Tentang sepotong senja; kau, aku, dan kenangan tentang setapak jalan berdebu di belantara kerinduan dalam sebuah perjalanan luka. Masih tersisa sepotong cahaya rembulan menempel di lembar daun jati bertuliskan sebait puisi yang lahir dari rahim sepi, begitu banyak aksara yang kau toreh dengan doa.
Semoga masih sempat kau tulis sebuah kata di langit subuh tentang perjalanan yg harus kita tempuh.

Dan pagi menguak semesta dengan lirikan cahaya yang malu untuk menyapa, mungkin juga doa-doa sahaya yang menjelma serupa embun di pucuk-pucuk cemara. Di musim-musim pancaroba, angin begitu deras menampar reranting getas. Begitu pun dengan kenangan, menjelma di tiap deru nafas.

Sebilah senja menyimpan ribuan kenangan. Mungkin saat ini disebuah sudut kota kau sedang melukis hujan, ya tentang hujan dan senja. Ada pancaran melintas di langit barat, di lengannya kenangan bergelayut mesra, melafazkan sajak-sajak luka. Lalu senja merayap dihisap senyap, membahasakan luka menjadi titik-titik lembab di atas daun-daun akasia. Lembut untaian sajak pagimu, menjalar di liuk batang-batang padi bagaikan sebuah elegi musim yang abadi.

Aku menuliskanmu dalam puisi pagi, tentang desiran angin membelai pucuk ilalang,menyongsong terang agar gelap menghilang. Kita sempat mendengar pagi mengetuk mimpi, namun kita memilih lelap agar dapat memaknai rindu yang begitu lekap.

Kamu angin dan aku sehelai daun kering. Bersama kita menjelajah setiap celah hutan untuk menemukan tempat persinggahan.Lalu, kusajakkan cinta lewat desir angin utara, semoga dengan baitbait yang sederhana kita mampu menjaga cinta tetap menyala. Dipenghujung pagi kutemukan secarik puisi, semalam malaikat menuliskannya dengan tinta doa untuk kita dan doa mengaliri tempat-tempat di lembah penantian, menghanyutkan segala resah tentang ketidakpastian. Siapkan saja secangkir rindu saat aku singgah di berandamu, menghabiskan malam menepikan kenangan.

Desiran angin mendesaukan suara di getas ranting malam, mungkin tangis yang tersimpan diam-diam di bilik kenangan yang akhirnya kita simpan hanya sebait kenangan kusam karena senyum kita telah melesap bersama hujan ditengah malam.

Senyum telah hilang dari bibir malam, kini hanya air mata sebagai penanda sebuah hati yang terluka. Ada samar tergambar dalam senyum purnama, mungkin denyar yang kian hingar di mata malam yang penuh binar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar