Kamis, 08 Desember 2016

TENHOLES - LOYALTY


Ukien Bstrd - Vocals, Andry Cepy - Guitars, Endry - Guitars, Bary Poseur - Bass, King Edwin - Mandolins dan Acongaco - Drums, membuka kembali babak baru bagi band pionir celtic punk dari Jakarta, Ten Holes, dengan merilis album kedua mereka bertajuk ‘Loyalty’.

Para Warriors Crew ini mengentaskan album baru nyaris di penghujung tahun 2016, secara personal, album ini masuk ke dalam list album penyelamat di tengah kegersangan atmosfir hidup yang di tahun-tahun belakangan disibukkan dengan euforia politik perwakilan, yang sebagiannya masih belum bisa beranjak dan terus berpolusi sampai saat ini.

‘Loyalty’ diproduksi dengan sangat baik, sound yang sangat prima – untaian lirik yang tajam dan liar dilahirkan hingga melebur menjadi musik yang bersemangat, meski jika kita simak lebih lanjut, ada aura sendu dan gelap yang dihadirkan, utamanya di beberapa nomor lagu yang mengajak kita berfikir, merenung: berkontemplasi, apa dunia baik-baik saja?

Album ini rilis dibawah naungan Bergerak Records dengan mengambil Baks Studio sebagai tempat mereka merekam segala aktifitas bermusik sampai membentuk aneka bunyi-bunyian yang tersaji di dalamnya. Profesional-profesional yang terlibat dalam proses produksi album ini menjadikan segala apa yang keluar dari album ini nyaris tanpa cela.

Ten Holes pada Loyalty dapat diibaratkan sekelompok pejuang yang menunggangi kuda putih, bertempur habis-habisan di berbagai medan – menghadapi berbagai cobaan dan godaan hidup namun pada akhirnya tetap berdiri bertahan mengibarkan passion dan keyakinan yang mereka percaya, “you can’t robbed a warrior of his pride,”.

Loyalty dibuka dengan nomor lagu yang sangat bersemangat, anthemic, beat drum dan bass membuka memantik energi, disusul denting mandolin mengawal intro lagu dan selanjutnya vokal masuk menyanyikan nomor ‘Warriors Crew’, ada energi persaudaraan yang kental di lagu ini, begitu ideal, kita dapat membayangkan sebuat pit yang berpeluh dengan suasana akrab, dimana para skin head/working class, hardcore kids dan punk rocker atau identitas genre apapun berdansa bersama di lagu ini.

Ikat Kepala menjadi tembang kedua di album ini, sebuah lagu dengan kegetiran perlawanan yang khas,  Ten Holes pada larik liriknya mengajak kita untuk menolak lupa atas sebuah peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini, sebuah peristiwa yang jika kita tidak menjaga ingatan akan punah dan tak dikenali generasi selanjutnya.  Bahwa ada sederet nama yang ketika mencoba memperjuangkan kebenaran tidak pernah kembali ke rumahnya, dari mulai Petrus, Herman, Suyat, Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, hingga Abdun Nasser, dan salah satu tokoh yang aktif menyerukan kasus ini, Munir, malah mati diracun.

“Mereka hilang menagih janji, demi sebuah nafkah anak dan istri, mereka hilang dan tak kembali, lenyap tak berbekas ditelan bumi,” ada muatan politis di lagu ini, sebuah narasi politik yang tidak melulu tentang politik perwakilan, dimana perjuangan hidup untuk anak, istri, keluarga merupakan  sikap politik yang personal dan Ten Holes membuka peluang kita ke arah itu.

Lagu selanjutnya yang dilantunkan di album ini adalah ‘Mesin Factory’, nafas berat para kelas pekerja begitu terasa di album ini, sebuah perjuangan dalam menjalani hidup dengan bekerja, berpeluh, terbakar matahari namun tetap dengan menggunakan nalar yang tinggi. Lagu ini cukup sempurna menjadi theme song ketika mengantar kita melangkahkan kaki ke tempat kerja di pagi hari.

Nomor selanjutnya adalah lagu yang nampaknya menjadi tema sentral di album ini, ‘Loyalty’, musik menghentak dihadirkan sejak awal lagu, kencang, cepat dan siap melibas mereka yang memandang sebelah mata atas apa yang Ten Holes perbuat sejak awal mereka berdiri. Sebuah peringatan dengan gamblang dikabarkan, “Down! Down! Everyone who disrespect for what we did in honesty... We’ll fight for the history, we’ll win in unity. Back off!, sit and watch this ability!.”


The Ballad Jenny & Benny, menjadi lagu berikutnya, satu yang mungkin semua orang akan sependapat adalah bahwa, semua lagu di album ini dinyanyikan dengan begitu baik oleh sang vokalis, Ukien Bstrd. Ada olah vokal yang terasa enak di setiap tarikan suaranya, baik di lagu berbahasa Inggris atau berlirik bahasa Indonesia, semua terasa begitu pas. Dan di lagu ini vokal apiknya menjadikan The Ballad Jenny & Benny sebagai lagu balad yang begitu anthemic.

Tentu hampir semua orang percaya jika musik dibuat untuk menyenangkan hati, sebuah produk budaya manusia berabad silam, namun selain untuk faktor kesenangan, musik juga bisa menjadi alat penyampai pesan yang efektif, tanpa harus terjebak pada dikotomi politik-apolitik, karena seringnya musik dapat begitu intens memberikan inspirasi bagi mereka yang mendengarkan. Di lagu bertajuk ‘Ketika Ibu Pertiwi Tidak Dapat Lagi Berdiri’, Ten Holes mencoba memberikan stimulan pada kondisi sosial politik kita belakangan, apakah yang mereka maksud dari nomor Ketika ‘Ibu Pertiwi Tidak Dapat Lagi Berdiri’? Orang sudah harus matang mencerna dengan melihat kondisi kehidupan berbangsa kita belakangan ini untuk mencari jawabnya, apa yang eksis dan apa yang terjadi?

Sebagian dari kita percaya bahwa album yang baik adalah album yang membuka kemungkinan lain tanpa harus benar-benar keluar dari warna musik yang memang ingin dibawakan, dan di album ini Ten Holes membawa kemungkinan itu, pada ‘Morning Bells’, realita itu dihadirkan, sebuah aransemen musik nan orisinil besutan Ten Holes yang akan sangat mungkin dapat diterima dari kalangan berbeda dari yang biasanya sudah mengakrabi jenis musik mereka.

Intro bass, mandolin dan beat drum membawa kita pada nomor selanjutnya, ‘Kami Masih Disini’, sebuah komitmen mereka pacu di lagu ini, berdiri sejak taun 2004 dengan mengusung genre Oi!/Celtic Punk dan tidak mengendur meski terdapat pergantian personil dengan terus eksis dan merilis musik, menjadikan integritas Ten Holes begitu terasa di lagu ini, “Melangkah bergerak, menatap hari, melawan ombak, menerjang karang. Tak takut mati, terus berlari dan kami takkan pergi.”

Beranjak pada list berikutnya, kita masuk pada nomor ‘Amunisi’, musik menghentak, lirik berbahasa Indonesia dan melodi yang menunjang struktur lagu membuat lagu ini menjadi lagu yang pantas disimak, terlebih dengan lirik seperti ini, “Mungkin liar hidup ini, jangan tiru hai adikku, cukup bangsat ini yang menjadi aibmu. Selamat malam ibuku, mohon restu darimu, banyak dosa-dosaku kecewakanmu.” Ada kisah personal yang mungkin diceritakan di lagu ini, dan ada semacam ‘dignity’ yang natural saat mereka memutuskannya untuk diangkat sebagai sebuah lagu.

Selalu ada ending yang sempurna di beberapa kisah, dan jika ‘Loyalty’ adalah sebuah kisah, maka ia ditutup dengan begitu baiknya lewat ‘Fire In The Hole’. sebuah balad yang epic dilagukan pada nomor ini. Rasanya tidak perlu lagi menggambarkan bagaimana mereka mengkomposisi lagu ini ketika kuping terus menagih untuk memutar lagu ini sebagai sebuah penutup kisah kesetiaan para pejuang.