Rabu, 30 Agustus 2017

TAN MALAKA: Sepakbola Adalah Alat Perjuangan

Sejarah pergerakan kemerdekaan indonesia rupanya tak hanya dilakukan lewat jalan perlawanana bersenjata ataupun jalur diplomasi di meja perundingan. Olah raga sepak bola juga punya peran dalam menggelorakan pemuda maupun tokoh tokoh pergerakan Tanah Air untuk menumbuhkan identitas dan spirit kebangsaan serta rasa nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia.

Sebagai olah raga yang sangat diminati oleh berbagai kalanan masyarakat, Tan Malaka menggunakan ketangkasannya bermain sepak bola bukan hanya semata untuk menunjukan identitasnya namun ia mencoba menunjukan jati diri dirinya sebagai putra Hindia Belanda yang punya keiginan untuk merdeka. Tak bisa dimungkiri Tan Malaka menggunakan olahraga sepak bola sebagai alat untuk mengkomunikasikan tentang rasa nasionalisme

Saat itu pemerintah kolonial Belanda menunjukan superioritas kultural atas olahraga sepak bola dengan menaruh papan pengumuman yang bertuliskan "Verboden voor Inlanders en Hounden" atau "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing" di beberapa lapangan sepak bola yang berada di Batavia. Tidak itu saja, klub-klub pribumi bahkan dilarang bertanding melawan klub Eropa.

Kegemaran Tan Malaka bermain sepak bola di mulai saat dirinya masih di sekolah dasar pada 1911. di garis depan. Tan malaka kerap menempati posisi penyerang. Sosok Tan malaka di atas rumput hijau digambarkan sebagai penyerang yang gesit dan licin. Saat merumput Tan Malaka memilih untuk tidak bersepatu. Hal ini sering mengundang decak kagum dari rekan-rekannya.

Kegemaran dan kemahiran Tan Malaka dalam mengolah si kulit bundar terus berlangsung bahkan sempat membuat namanya menjadi populer. Selama kurun waktu antara tahun 1914-1916, ketika Tan Malaka tinggal di Harleem, Belanda, ia sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan keras Tan Malaka saat bermain tanpa alas kaki alias nyeker.

Saat di Belanda Tan Malaka sering bermain bola dengan kondisi cuaca yang dingin. Dirinya tak menghiraukan saran rekan-rekanya untuk mengenakan jaket tebal. Kebiasaan Tan Malaka bermain sepak bola tanpa mengenakan sepatu juga kerap membuat kakinya terluka.

Namun Kebiasaan Tan Malaka bermain bola tanpa mengenakan jaket tebal di tengah cuaca dingin membuatnya jatuh sakit. Ia pun divonis dokter mengidap penyakit radang paru-paru.

Sepak bola pun beberapa kali menjadi bahan obrolan saat Tan Malaka minum kopi dengan pengungsi Belgia yang lari dari serbuan kekejaman serdadu Nazi Jerman di sebuah pondokan yang berada di kawasan Jacobijnesraat, Belanda.

Di saat Jepang menjajah Indonesia, Tan Malaka melakukan berbagai kegiatan baik kritik maupun pertemuan pertemuan rahasia untuk menggagas perlawanan terhadap penjajah jepang lewat pertandingan sepakbola.

Hijrah ke Banten

Hal itu dituangkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya yang berjudul 'Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946,di mana dikisahkan pada Juni 1943, Ibrahim Datuk Tan Malaka pindah dari Jakarta ke Bayah, Banten. Di tempat itu, Tan Malaka yang menyamar dengan menggunakan nama Ilyas Hussein bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha.

Dalam penyamarannya sebagai Ilyas Hussein, Tan Malaka memperjuangkan berbagai hak-hak romusha, mulai dari kesehatan, gaji, dan kehidupan yang layak. Pemerintah Jepang pun menilai kinerja Ilyas Hussein sangat baik, Mereka lalu menjadikannya menjadi Ketua BPP (Badan Pembantu Keluarga PETA).

Saat menjabat sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga PETA inilah Tan Malaka sering mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara ataupun pertandingan sepak bola sebagai kegiatan ekstra kemasyarakatan. Kedua hal itu ia lakukan untuk menghilangkan rasa lelah dan penat yang dialami para romusha.

Tak hanya menggelar kegiatan, Tan Malaka bahkan membentuk grup sandiwara serta tim kesebelasan sepak bola bernama Pantai Selatan. Lewat grup Sandiwara Tan menyisipkan berbagai kritik terhadap pemerintah jepang lewat lakon-lakon kisah seperti Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, ataupun Kisah Perang Puputan Bali.

Sedangkan tim sepak bola Pantai Selatan bentukannya tersebut banyak berperan dalam menggelorakan semangat kemerdekaan para pemuda lewat ajang kejuaraan lokal di sekitar Rangkasbitung. Terkadang Tan pun turun bermain sebagai gelandang sayap. Wasit di kejuaraan Rangkasbitung. Selesai bermain, Tan yang dikenal selalu memakai celana pendek, helm tropis, dan tongkat itu biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.

Lewat olah raga sepak bola pula tak jarang Tan Malaka mengambil hal-hal kecil dalam olahraga tersebut yang dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat maupun dalam kehidupan politik antarlembaga negara.

Misalnya dalam salah satu karyanya,Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan Malaka menuliskan bahwa salah satu cara agar tidak terjadi kekacauan, ibarat menentukan pemain dalam sebuah pertandingan sepak bola. Ia menuliskan, "Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak."

Karena sesungguhnya, Sepakbola adalah alat perjuangan.

Sabtu, 19 Agustus 2017

Kisah Sayup Senja

Aku berdiri di atas sayup-sayup senja, mencari cinta dan ketulusan yang sesungguhnya, dikeindahan gerimis senja yang memberiku setetes harapan akan cinta yang teramat berkesan.

Awalnya kau buat sempurna dimataku, kau buat sempurna semua hingga aku mulai terlena dengan ini semua, aku terlena dengan hangatnya cintamu
dengan indahnya cinta, kasihmu yang sudah sekian lama aku inginkan darimu.

Jika saja kamu mengerti betapa dalam perasaan ini, mungkin kau tak akan mengingkari apa yang telah terjadi.
Kini kehadiranmu telah menyiksa mata, membiarkan hatiku patah melihat kamu dengannya.

Tiba-tiba aku menjadi seorang penyair yang menorehkan tinta pada seuntai kertas, tentang rasa yang pernah ada, tentang diri yang pernah terluka dan tentang cinta yang telah sia-sia.

Bukannya ku tak mampu mencari penggantimu, hanya saja ku tak siap membagi cinta itu. Bukannya ku tak mampu untuk jatuh cinta, hanya saja ku tak siap untuk berdusta.

"Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana cinta akan berlabuh"