Selasa, 05 November 2013

WIJI THUKUL - AKU INGIN JADI PELURU








Wiji Thukul : Aku Ingin Jadi Peluru

Aku Ingin Jadi Peluru adalah judul sebuah buku. Buku itu berupa buku puisi. Wiji Thukul penulisnya. Aku diingatkan pernah membeli buku puisi Wiji Thukul ini setelah membaca majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013. Setelah edisi khusus yang membahas sosok Kartini pada April lalu, edisi majalah Tempo yang membahas sosok Wiji Thukul benar-benar sangat bermanfaat buat diriku saat ini. Aku diberi “mata baru”. Aku diseret lagi ke wilayah baru yang tak pernah kuakrabi secara intens. Wilayah baru itu bernama kehidupan para buruh dan tukang becak. Itulah dunianya Wiji Thukul. Siapa Wiji Thukul?

Ngapain kamu, orang lain menderita, kamu mewah sekali. Priayi sekali kamu,” begitu ujar Wiji Thukul kepada Wahyu Susilo. “Bagi Wahyu Susilo, 47, sindiran ‘priayi’ yang diucapkan kakaknya, Wiji Thukul, begitu membekas,” tulis majalah Tempo di halaman 58. “Pernah suatu ketika, saat Wahyu kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Thukul marah karena ia memilih menjadi anggota panitia konser music rockketimbang aktif memikirkan persoalan kaum miskin. Menurut Thukul, apa yang dilakukan Wahyu itu merupakan kegiatan gaya orang kaya. Padahal kegiatan mahasiswa paling kerap pada 1980-an itu, ya, konser music rock dan kontes slalom test.”

Menurut majalah Tempo, “Thukul mungkin bukan penyair paling cemerlang yang pernah Indonesia miliki. Sejarah Republik menunjukkan dia juga bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Tapi Thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut diabaikan: seorang penyair yang sajak-sajaknya menakutkan sebuah rezim dan kematiannya hingga kini jadi misteri.” Ya, bagiku, sosok Thukul yang disajikan Tempo membuat diriku seperti baru bangun tidur. Mataku terbuka lebar dan pikiranku mulai mencari sesuatu. Aku perlu mengenal sosok penyair yang misterius ini. Meski aku punya buku puisinya, aku benar-benar baru tahu saat ini jika dia adalah seorang “pahlawan” bagi para buruh.

Di samping bercerita panjang-lebar tentang pengembaran Thukul karena diburu aparat, Tempo juga melampirkan kumpulan puisi Thukul yang belum sempat dipublikasikan secara luas. Hanya tujuh belas halaman tebalnya dan diberi judul, Para Jendral Marah-marah: Kumpulan puisi Wiji Thukul dalam pelarian. Diberi ilustrasi Yuyun Nurachman, kumpulan puisi Thukul ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama diberi titel “Puisi Pelarian”, bagian dua “Puisi Jawa” (puisinya memang berbahasa Jawa), dan bagian tiga “Puisi Lepas”. Judul Para Jendral Marah-marah rupanya diambil dari judul puisi Thukul yang ada di bagian pertama dan di letakkan di paling awal dari buku tersebut.
Yang menarik, di bagian pertama buku puisinya, ada judul puisi Thukul yang menunjukkan sebuah ironi: “Aku Diburu Pemerintahku Sendiri”:

Aku diburu pemerintahuku sendiri
layaknya aku ini
penderita penyakit berbahaya
….
aku sekarang terlentang
di belakang bak truk
yang melaju kencang
berbantal tas
dan punggung tangan
Dan Tempo pun menulis, “Pada suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain, menghindar dari kejaran jenderal-jendral di Jakarta yang marah-marah menuding puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi, bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang. Banyak yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan di sekitar prahara Mei 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu ketika akan kembali.”
Di manakah gerangan kau berada, Wiji Thukul?

 wijithukul

Puisi Perlawanan Seorang Penyair: Aku Ingin Jadi Peluru (2)
Oleh Hernowo



“Harus diakui, hanya sedikit penyair yang penggalan sajaknya sangat ikonik,” tulis Tempo di halaman 41. “’Hanya satu kata: Lawan’ adalah kalimat Thukul dari sajak berjudul ‘Peringatan’ yang mungkin sama terkenalnya dengan ‘Aku ini binatang jalang’ dari Chairil Anwar. Lebih jauh, menurut Tempo, “ Thukul berpendapat bahwa sajak harus bertolak dari data. Menurut dia, kebanyakan sajak Indonesia tak bertolak dari pengamatan sosial.” Mungkin penggalan sajak Thukul menjadi sangat ikonik karena Thukul bukan hanya mengamati kehidupan sosial kelas buruh tetapi dia terlibat dengannya. Thukul menjadi sangat paham akan keadaan buruh dan, itu tadi, benar-benar merasakan kehidupan para buruh sehingga menyebabkan beberapa penggalan sajaknya muncul secara mengejutkan dan memiliki sikap.

Aku juga menemukan bahwa pikiran Thukul senantiasa diasah dengan buku. Aku tak tahu persis apa saja buku yang dibacanya. Kisah menarik berikut ini setidaknya dapat memberikan gambaran tentang sosok Wiji Thukul yang juga sangat mencintai buku. Kisah tersebut dipaparkan oleh Lilik Hastuti, Lukman Hakim, dan Andi Abdul. Tempo merekamnya dalam judul “Berjumpa di Seberang Gramedia” dan “Rumah Kontrakan di Kebon Jati”. Dikisahkan bahwa Lilik berjumpa pertama kali dengan Thukul pada tahun 1993. Waktu itu Lilik masih seorang mahasiswa baru dan ikut dalam sebuah seminar. Tiba-tiba berdiri seseorang berperawakan kerempeng dan berkaus lusuh. Dia menginterupsi dan berkata, “Ngapain bicara ndakik-ndakik. Rakyat butuh makan!”

Lilik mengaku kaget. “Ini orang bicaranya enggak intelek banget. Tapi kalimat itu, keberanian itu, berdengung seperti tawon di kuping saya,” Lilik mengenang sebagaimana disampaikan Tempo di halaman 59. Dan kisah Lilik tentang Thukul tidak berhenti di situ. Lilik bertemu lagi dengan Thukul di sebuah kongres. Lilik mendengar lagi suara cadel dari laki-laki kerempeng yang berkaus lusuh itu. Rasa penasaran Lilik kian memuncak lantaran laki-laki kerempeng itu menjadi pemberi materi. “Saya terlongong-longong mendengar kata-kata ajaib dari bibirnya,” ujar Lilik. Menurut pengakuan Lilik, Thukul berbicara secara lugas, sederhana, membalut ide-ide yang sama sekali tidak sederhana. “Referensinya, anjrit, gila,” kata Lilik.

Kisah berikutnya diceritakan oleh Andi Abdul. Menurut  Abdul, setiap berkunjung ke rumah kontrakannya, Thukul senantiasa membawa buku. Tema buku yag dibawa Thukul beragam, tak hanya dari kaum kiri. Ada sekitar 50 buku Thukul yang disimpan di rumah Lukman. Abdul sangat terkesan dengan perlakuan Thukul terhadap buku. Thukul pernah memarahi Abdul karena menggunakan buku sebagai tatakan untuk mangkuk mi instannya. “Jangan sekali-kali menggunakan buku buat tatakan. Itu karya manusia yang harus dihargai,” ujar Thukul. Bukan hanya buku, koran pun tak boleh digunakan sebagai alas.
Inilah, mungkin, sebentuk perlawanan yang dilakukan oleh sang penyair cadel tersebut:

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang

jika tak ada kertas
aku akan menulis di dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
pemberontakan
dan tetes darah
(Wiji Thukul, “Penyair”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar